Sabtu, 12 Maret 2011

SNA XIV Aceh

AKUNTANSI YANG ISLAMI (SYARI’AH) SEBAGAI MODEL ALTERNATIF DALAM PELAPORAN KEUANGAN


Nasrullah Djamil

A. Pendahuluan
Benarkah ilmu akuntansi ada dalam Islam? Pertanyaan ini begitu menggelitik, karena agama sebagaimana dipahami banyak kalangan, hanyalah kumpulan norma yang lebih menekankan pada persoalan moralitas. Dan karenanya prinsip-prinsip kehidupan praktis yang mengatur tata kehidupan modern dalam bertransaksi yang diatur dalam akuntansi, tidak masuk dalam cakupan agama.
Anggapan terhadap Akuntansi Islami (akuntansi yang berdasarkan Syariah Islam) wajar saja dipertanyakan orang. Sama halnya pada masa lalu orang meragukan dan mempetanyakan seperti apakah Ekonomi Islam.
Jika kita mengkaji lebih jauh dan mendalam terhadap sumber dari ajaran Islam Al-Qur'an dan Ahlul Bait, maka kita akan menemukan ayat-ayat maupun hadits-hadits yang membuktikan bahwa Islam juga membahas ilmu akuntansi.
Ketika kita berbicara tentang syariah, kita wajib meyakini bahwa ada dua dunia yang saling berhubungan yaitu dunia fana dan dunia akhirat. Segala perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, tidak hanya berdampak pada kehidupan dunia saja, namun memiliki hubungan yang erat dengan akhirat.
Dalam pelaksanaannya, ajaran agama sebagai “pesan-pesan langit” perlu penerjemahan dan penafsiran. Inilah masalah pokoknya : “membumikan" ajaran langit”. Di dunia, agama harus dicari relevansinya sehingga dapat mewarnai tata kehidupan budaya, politik, dan sosial-ekonomi umat. Dengan demikian, agama tidak selalu berada dalam tataran normatif saja. Karena Islam adalah agama amal. Sehingga penafsirannya pun harus beranjak dari normatif menuju teoritis-keilmuan yang faktual.
Eksistensi akuntansi dalam Islam dapat kita lihat dari berbagai bukti sejarah maupun dari Al-Qur'an. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, dimana maksud dari surat ini adalah membahas masalah muamalah. Termasuk di dalamnya kegiatan jual-beli, utang-piutang dan sewa-menyewa. Dari situ dapat kita simpulkan bahwa dalam Islam telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanan utamanya adalah untuk tujuan kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan antara kedua pihak yang memiliki hubungan muamalah, dalam bahasa akuntansi lebih dikenal dengan accountability.

B. Akuntansi Syariah VS Kapitalisme
Akuntansi konvensional yang sekarang berkembang adalah sebuah disiplin dan praktik yang dibentuk dan membentuk lingkungannya. Oleh karena itu, jika akuntansi dilahirkan dalam lingkungan kapitalis, maka informasi yang disampaikannya akan mengandung nilai-nilai kapitalis. Kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil pengguna informasi tersebut juga mengandung nilai-nilai kapitalis. Singkatnya, informasi akuntansi yang kapitalistik akan membentuk jaringan kuasa yang kapitalistik juga. Jaringan inilah yang akhirnya mengikat manusia dalam samsara kapitalisme.
Bila diperhatikan, budaya dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.
Menurut pengamatan penulis, sistem akuntansi yang ada di Indonesia sekarang ini terlalu mengadopsi pola pikir barat dengan segala kebudayaannya. Sebagaimana kita maklumi bahwa cukup lama pola pikir dan aktivitas bermuamalah masyarakat muslim di Indonesia khususnya dan selain muslim umumnya mengikuti pola pikir barat tersebut yang mana menekankan pada kapitalisme dan sekularisme.
Dimana paham kapitalisme tersebut lebih menekankan pada prinsip perolehan laba dan keuntungan yang lebih memihak kepada pemilik modal saja tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yang sebenarnya lebih memegang peranan penting daripada pemilik modal itu sendiri. Mengapa penulis berpikiran seperti itu, sebagai gambarannya penulis dapat memberikan contohnya sebagai berikut.
Pertama, laba dari hasil penjualan dan produksi yang diperoleh sebuah perusahaan, akan dibagi dalam bentuk deviden. Akan tetapi di dalam pembagian deviden tersebut sepenuhnya hanya untuk pemilik modal saja tanpa memperhatikan kepentingan-kepentingan lainnya seperti pemerintah dan masyarakat.
Idealnya, dana deviden tersebut harus diperhitungkan untuk kepentingan masyarakat, hal ini disebabkan karena sebagian dana operasional yang dimiliki perusahaan diperoleh dengan cara melakukan pinjaman dari Bank. Seperti yang kita ketahui sumber dana yang dimiliki Bank diperoleh dari masyarakat yang menabung pada Bank tersebut. Artinya, secara tidak langsung dana operasional yang dimiliki oleh perusahaan untuk menjalankan operasinya berasal dari masyarakat. Oleh karena itu sudah seharusnya masyarakat mengetahui informasi tentang perusahaan dan memperoleh manfaat dari perusahaan tersebut.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 107, yang mana maksud dari ayat tersebut menyatakan bahwa, agar “rahmat” yang dimaksudkan oleh Allah SWT dapat dirasakan dan dinikmati oleh manusia, maka manusia harus menjauhi perbuatan yang saling menzalimi antara manusia satu dengan manusia lainnya, antara manusia dengan lingkungan, antara manusia dengan alam, dan yang lebih penting adalah jangan menzalimi diri sendiri. Hal tersebut lebih dipertegas lagi dalam surat Al-Baqarah ayat 279, yang mana maksud dari surat tersebut yakni menyatakan tentang prinsip utama dalam syariat islam terutama dalam melakukan muamalah.
Contoh kedua, apabila dilihat dari kegiatan yang berhubungan dengan perbankan, maka alat ukur yang sering digunakan adalah rate of interest. Hal ini tentu saja menguntungkan bagi perbankan karena perbankan menggunakan instrumen ini untuk mencari-cari alasan untuk menghindar dari mentaati ketentuan-ketentuan syariah.
Atas dasar pemikiran tersebut diatas, maka penulis merasakan perlunya penerapan akuntansi yang islami sesuai syariah di Indonesia sebagai model alternatif dalam penyusunan laporan keuangan. Hal ini untuk menghindari terjadinya praktek kecurangan–kecurangan (fraud) seperti earning management, income smoothing, window dressing, lapping dan teknik-teknik lainnya yang biasa digunakan oleh manajemen perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan.
Untuk lebih jelas penulis akan memberikan fakta yang terjadi pada perusahaan WorldCom. Perusahaan telekomunikasi dengan klaim aset 107 miliar dolar (sepadan dengan Rp 963 triliun) itu bangkrut. Inilah fakta kebangkrutan terbesar sepanjang sejarah Amerika.
Tumbangnya perusahaan ini, seperti sengatan mematikan bagi perekonomian Amerika, setelah sebelumnya Enron, Merck, dan Xerox ikut sempoyongan diguncang skandal manipulasi keuangan. WorldCom Cs tentu bukan jenis entitas bisnis yang baru muncul ke permukaan. Kapitalisasi mereka di New York Stock Exchange yang begitu besar dan iming-iming laba yang terus mereka cetak dalam kondisi perekonomian yang sedang lesu, jelas magnet penyedot perhatian pebisnis top di seantero dunia untuk berebut membeli sahamnya.
Tapi siapa yang menyangka, akal-akalan mereka dengan memalsukan laporan akuntansi telah membuat perusahaan itu sangat rapuh. Keuntungan miliaran dolar yang tertera dalam laporan keuangannya, tak lebih dari sebuah kepalsuan yang dirangkai oleh akuntan-akuntan yang tak bertanggung jawab.
WorldCom hanya sekadar contoh dari sebuah peradaban yang menempatkan ilmu akuntansi menghamba kepada kepentingan pemilik modal (stockholder). Di sini, kisi dan ruang akuntansi sebagai media transparansi dan pertanggungjawaban dipelintir untuk satu alasan yaitu bagaimana caranya menguntungkan bagi pemilik modal.
Sekali-sekali, cara-cara itu memang mendapatkan untung. Namun sungguh picik, mengira publik sebagai tempat sampah yang hanya bisa menerima tanpa mampu mengukur kebenaran yang disampaikan melalui laporan keuangan itu. Dan sekali terbongkar, reputasi yang bertahun-tahun mereka bangun hancur berantakan.
Realitas menyulap laporan keuangan yang banyak terjadi dalam paradigma kapitalis menunjukkan betapa sistem akuntansi kapitalis selalu berpeluang melahirkan malapetaka. Sistem akuntansi kapitalis yang memang dari asalnya didesain untuk mendukung pemilik modal.
Di sinilah bedanya sistem akuntansi kapitalis dan Islam dibangun. Akuntansi Islami bukan saja untuk melayani kepentingan stockholder, tapi juga semua pihak yang terlibat atau stakeholder. Itu berarti ada upaya melindungi kepentingan masyarakat yang terkait langsung maupun tidak langsung. Bahkan, dunia flora-fauna, berikut lingkungan yang menjadi habitatnya.
Karena itu, Akuntansi Islam bukan selalu bicara angka. Sebaliknya, domain akuntansi juga mengukur perilaku (behavior). Konsekuensinya, akuntasi Islam menjadi mizan dalam penegakan ketertiban perdagangan, pembagian yang adil, pelarangan penipuan mutu, timbangan, bahkan termasuk mengawasi agar tidak terjadi benturan kepentingan antara perusahaan yang bisa merugikan kalangan lain. Kalau rambu-rambu dasar seperti ini yang diterapkan, yakin tragedi WorldCom tak terjadi. Itu bisa dilakukan karena akuntansi tak lagi menghamba kepada kepentingan pemilik modal, tapi lebih dari itu inheren dengan penegakan keadilan dan kebenaran.
Dasar-dasar bisnis dengan merujuk praktik akuntansi Islam sebenarnya sudah diterapkan Rasulullah saat membangun Madinah. Tinggal kini bagaimana mentransfer warisan Nabi Muhammad yang berupa nilai-nilai normatif itu ke dalam tataran empirisme.
Dalam penyusunan akuntansi Islam kemungkinan ada persamaan dengan akuntansi konvensional khususnya dalam teknik dan operasionalnya. Seperti dalam bentuk pemakaian buku besar, sistem pencatatan, proses penyusunan bisa sama. Namun perbedaan akan kembali mengemuka ketika membahas subtansi dari isi laporannya, karena berbedanya filosofi.
Bila diperhatikan, budaya dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.

C. Akuntansi yang Islami (Akuntansi Syariah)
Masyarakat Islam memakai hukum Islam (syariah) yang memakai ketentuan dari kitab suci Al Qur’an dan Hadis. Peraturan akuntansi pun demikian, harus berdasarkan syariah yang berlaku.
Tujuan diberlakukannya ekonomi dan akuntansi Islam adalah menciptakan keadilan, kesejahteraan (sosial maupun ekonomi) dan melindungi hak milik masyarakat. Penerapan hukum islam dalam kehidupan masyarakat muslim menyebabkan berkembangnya perbankan, asuransi dan instansi keuangan lainnya dengan sistem pembiayaan “bebas bunga” berbeda dengan sistem pembiayaan ekonomi modern. Hal ini didasari oleh dilarangnya bunga / interest dalam syariah sehingga pembiayaan lembaga-lembaga ini didasarkan pada penggunaan equity-funding / leasing dan installment sales. Basis pembiayaan dalam Islam adalah equity participation yaitu pendapatan yang dibagi berdasarkan perjanjian pembagian profit/loss sebelumnya.
Tujuan ekonomi Islam adalah untuk menghindari ketidakpercayaan dan pertentangan antara pihak yang berkepentingan dengan menjamin fairness dari akuntansi, serta pendistribusian hak dan kekayaan secara merata. Untuk mendukung tujuan ini, dibentuklah akuntansi syariah yang tujuannya adalah sebagai berikut :
1. Circulation of Wealth:
Kekayaan harus disirkulasi secara luas dan tidak terkonsentrasi pada sekelompok orang. Tujuan ini dicapai melalui zakat, sedekah dan pelarangan tingkat bunga.
2. Prohibition of Interest:
Bunga merupakan alat yang paling pasti untuk mengakumulasikan kekayaan dengan menghindari resiko. Hal ini dilarang dalam hukum Islam dengan pertimbangan bahwa orang-orang yang memiliki uang disediakan cara yang mudah untuk meningkatkan kekayaan mereka sementara orang-orang yang membutuhkannya tidak dapat keluar dari lingkaran kemiskinan karena keharusan membayar buga yang belum tentu mampu mereka tanggung. Islam menganggap hal ini tidak adil. Jenis investasi yang diizinkan adalah equity based partnership maupun shareholding.
3. Halal Trade :
Investasi hanya boleh dilakukan dalam aktivitas yang tidak dilarang dalam Islam (pelarangan termasuk perjudian, alkohol dan hal-hal yang berbahaya bagi masyarakat). Pemberian informasi yang tidak benar dilarang. Hal ini mengimplikasikan adanya full disclosure and fair measure or valuation.
4. Forbidden transactions and contracts:
Semua jenis kontrak harus jelas, kontrak yang tidak jelas dilarang. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik dan pertentangan antar pihak yang terkait. Tarnsaksi pinjam-meminjam dan transaksi lainnya yang merupakan kewajiban di masa yang akan dating (partnership, joint venture) harus dicatat dan diawasi. Transaksi spekulatif dilarang. Dalam Equity; fair selling price ditentukan dalam competitive market, tidak ada penipuan ataupun monopoli. Asuransi konvensional didasarkan pada takaful yaitu co-operative saving dimana bagian tertentu dialokasikan untuk klaim dari kewajiban kontijensi.

D. Kepemilikan Dalam Islam
1. Pengertian Kepemilikan dalam Islam
"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata malaka yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab milk berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Contohnya Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya.
Para fukoha memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa "milik" adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.
Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).
2. Jenis-jenis Kepemilikan
Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagad raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu "diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT.
Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara' yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.
3. Sebab-sebab Timbulnya Kepemilikan Sempurna.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat macam yaitu: (1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan, (2) akad, (3) penggantian dan (4) turunan dari sesuatu yang dimiliki.
3.1. Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan.
Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara' untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.
3.2. Akad
Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut : a) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.
3.3. Penggantian
Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti dalam akad. Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar'i yaitu (i) belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, " Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka barang itu miliknya." (ii) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada niat yang dikandungnya.
3.4. Turunan dari sesuatu yang dimiliki
Bentuk-bentuk kepenguasaan terhadap barang yang diperbolehkan ini ada empat macam yaitu :
a. kepemilikan karena menghidupkan tanah mati.
b. kepemilikan karena berburu atau memancing.
c. rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan belantara yang tidak ada pemiliknya.
d. kepenguasaan atas barang tambang.
Khusus bentuk yang keempat ini banyak perbedaan di kalangan para fukoha terutama antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak kepemilikan barang tambang ada pada pemilik tanah sedangkan bagi Malikiyah kepemilikan barang tambang ada pada negara karena semua tambang, menurut madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari kepemilikan atas tanah.

E. Penutup
Akuntansi Syariah didasarkan atas asas tolong menolong, hal ini menyebabkan terjadinya berbagai perbedaan dengan akuntansi konvensional yang didasarkan pada sistem kapitalisme. Fungsi lembaga keuangan dalam ekonomi konvensional adalah maximization of profit sementara dalam syariah fungsi lembaga keuangan adalah intermediary dalam melakukan pemerataan kekayaan.
Beberapa perbedaan yang cukup mendasar adalah konsep pinjaman yang dianggap sebagai investasi, tidak diberlakukannya bunga dan sistem pembagian profit antara lembaga keuangan dengan pihak peminjam dana. Karena akuntansi konvensional yang dikenal saat ini diilhami dan berkembang berdasarkan tata nilai yang ada dalam masyarakat barat, maka kerangka konseptual yang dipakai sebagai dasar pembuatan dan pengambangan standar akuntansi berpihak kepada kelompok kepentingan tertentu.
Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses akuntansi. Agar informasi keuangan yang disajikan bermanfaat bagi para pemakai, maka proses penyajiannya harus berdasarkan pada standar akuntansi yang berlaku. Dalam merumuskan standar akutansi, diperlukan acuan teoritikal yang dapat diterima umum, sehingga standar akuntansi yang diterapkan dapat digunakan untuk mengevaluasi praktik akuntansi yang berlangsung. Acuan teoritikal ini disebut kerangka konseptual penyusunan laporan keuangan.
Fenomena kegagalan akuntansi konvensional dalam memenuhi tuntutan masyarakat akan informasi keuangan yang benar, jujur dan adil, meningkatkan kesadaran di kalangan intelektual muslim akan perlunya pengetahuan akuntansi yang islami. Perumusan kembali kerangka konseptual pelaporan keuangan dengan mendasarkan pada prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Mengingat akuntansi syariah sesuai dengan fitrah (kecenderungan) manusia yang menghendaki terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial. Islam yang disampaikan Rasulullah saww melingkupi seluruh alam yang tentunya mencakup seluruh umat manusia. Di sinilah perbedaan antara paham akuntansi konvensional dengan akuntansi syariah. Paham akuntansi konvensional hanya mementingkan kaum pemilik modal (kapitalis), sedangkan akuntansi syariah bukan hanya mementingkan manusia saja, tetapi juga seluruh makhluk di alam semesta ini

Badan Layanan Umum UIN Suska Riau (a common perception)


Oleh : Nasrullah Djamil
1. Pendahuluan
Menurut Pasal 4 UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dinyatakan bahwa seluruh penerimaan negara bukan pajak wajib disetor langsung secepatnya ke kas Negara, jika tidak diserahkan sesuai dengan aturan, maka tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum yang berat, sanksi bagi yang tidak menyetorkan PNBP ke kas Negara dinyatakan dalam Pasal 21, yaitu dipidana 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah PNBP yang terutang …
Mekanisme pengelolaan PNBP dengan sistem APBN sangat menyulitkan bagi sebuah PTN karena harus menunggu persetujuan melalui Kementerian Agama, Kementerian Keuangan dan DPR-RI. Proses revisi memerlukan waktu lama dan persetujuannya sering terjadi pada akhir tahun. Mekanisme dan prosedur seperti ini sangat tidak cocok dengan irama kegiatan perguruan tinggi yang harus melayani jasa pendidikan. Oleh sebab itu beberapa PTN telah mengambil langkah untuk menjadi Perguruan Tinggi menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU). Apabila pengelolaan keuangan PTN mengacu pada konsep PK-BLU, maka tidak seluruh pendapatan PTN harus disetor ke kas negara, namun boleh dikelola sendiri oleh PTN bersangkutan dengan catatan siap dan sanggup untuk diaudit.
Paradigma baru pengelolaan keuangan negara sesuai dengan paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara meliputi Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan RUU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (disetujui dalam sidang paripurna DPR tanggal 21 Juni 2004) setidaknya mengandung tiga kaidah manajemen keuangan Negara, yaitu: orientasi pada hasil, profesionalitas serta akuntabilitas dan transparansi.
Paradigma ini dimaksudkan untuk memangkas ketidakefisienan. Memang sudah menjadi persepsi masyarakat bahwa pemerintah selama ini dinilai sebagai organisasi yang birokratis yang tidak efisien, lambat, tidak efektif, dan rentan korupsi. Padahal dalam manajemen modern unit pemerintahan harus profesional akuntabel dan transparan.
Kasus Penyalahgunaan PNBP
Sebelum munculnya kebijakan tentang penerapan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU), seluruh satuan kerja (satker) di Indonesia mengunakan Daftar Isian Penggunan Anggaran (DIPA) dalam melaksanakan anggarannya. Dalam Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Keuangan telah diatur bahwa apabila satker memperoleh pendapatan negara bukan pajak (PNBP), seluruh PNBP tersebut wajib disetorkan ke kas negara.
Oleh karena kakunya peraturan-peraturan yang telah diatur tentang PNBP, maka telah banyak kasus-kasus yang muncul terkait penyalahgunaan PNBP tersebut. Salah satu contohnya kasus Prof. Dr. Achmad Ali yang merupakan guru besar hukum pidana Universitas Hasanuddin Makassar. Ia dikenai dua tuduhan. Pertama, dugaan penyalahgunaan dana PNBP pada Program Pascasarjana (S-2) Non-Reguler Fakultas Hukum (FH) Unhas tahun 1999-2001. Kedua, penyalahgunaan penerimaan uang muka kerja mahasiswa (UKM) dari program S-1 reguler, S-1 ekstensi, dan S-2 non-reguler yang digunakan untuk perjalanan dinas. "Nilai kerugian negara sebesar Rp 250 juta” (http://www.gatra.com/2006-10-02/artikel.php?id= 98217).
Contoh lainnya, kasus Dekan FK Unsri Prof. Dr. Zarkasih, SpA dan Ketua PPDS UNSRI, Dr. Hatta Ansyori, SpOG yang diduga terlibat kasus korupsi dana PNBP pada PPDS FK UNSRI senilai Rp 2,5 miliar (http://www.detiknews.com/read/2010).
Karakteristik dan Jenis Badan Layanan Umum (BLU)
Bermula dari tujuan peningkatan pelayanan publik maka diperlukan pengaturan yang spesifik mengenai unit pemerintahan yang melakukan pelayanan kepada masyarakat yang saat ini bentuk dan modelnya beraneka macam. Sesuai dengan pasal 1 butir (23). Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebutkan: ”Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.” Penjelasan tersebut secara spesifik menunjukkan karakteriktik entitas yang merupakan Badan Layanan Umum, yaitu:
1. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah yang tidak dipisahkan dari kekayaan Negara
2. Menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan masyarakat
3. Tidak bertujuan untuk mencari laba;
4. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi;
5. Rencana kerja, anggaran dan pertanggungjawabannya dikonsolidasikan pada instansi induk;
6. Penerimaan baik pendapatan maupun sumbangan dapat digunakan secara langsung;
7. Pegawai dapat terdiri dari pegawai negeri sipil dan bukan pegawai negeri sipil;
8. BLU bukan subyek pajak.
Apabila dikelompokkan menurut jenisnya Badan Layanan Umum terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
  1. BLU yang kegiatannya menyediakan barang atau jasa meliputi rumah sakit, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi, penyiaran, dan lain-lain; 
  2. BLU yang kegiatannya mengelola wilayah atau kawasan meliputi otorita pengembangan wilayah dan kawasan ekonomi terpadu (Kapet); dan
  3. BLU yang kegiatannya mengelola dana khusus meliputi pengelola dana bergulir, dana UKM, penerusan pinjaman dan tabungan pegawai.
2. Lingkup Keuangan BLU
Sehubungan dengan karakteristik yang spesifik tersebut. BLU dihadapkan pada peraturan yang spesifik pula, berbeda dengan entitas yang merupakan Kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN/BUMD).
Perbedaan tersebut terletak pada hal-hal sebagai berikut:
1. BLU dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa
2. Kekayaan BLU merupakan bagian dari kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan
3. Pembinaan BLU instansi pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggungjawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan;
4. Pembinaan keuangan BLU instansi pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggungjawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan;
5.  Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan
6.  Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) serta laporan keuangan dan laporan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RKA serta laporan keuangan dan laporan kinerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah;
7. Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan pendapatan negara/daerah;
8. Pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja yang bersangkutan;
9. BLU dapat menerima hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain;
10. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam peraturan pemerintah.

3. UIN SUSKA Riau sebagai SATKER BLU
Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No. 77/KMK.05/2009 tentang penetapan UIN Suska Riau sabagai satker yang menerapkan PK-BLU, maka sejak tahun 2009 tersebut UIN Suska Riau telah resmi menerapkan PK-BLU. Adapun maksud UIN Suska Riau menerapkan PK-BLU adalah :
1. Peningkatan kualitas pelayanan dan profesionalitas lembaga kepada masyarakat dan pengembangan organisasi kedepan dalam rangka mejalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
2. Untuk mendapatkan fleksibilitas dalam penghimpunan dan pemanfaatan dana dari berbagai pihak. Fleksibilitas yang paling dibutuhkan adalah dalam hal pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang selama ini harus disetor ke Kas Negara.

Tujuan program UIN Suska Riau menerapkan PK-BLU adalah:
1. Peningkatan Sistem Manajemen Pendidikan Tinggi UIN berbasis masyarakat;
2. Peningkatan kualitas peran dan fungsi-fungsi UIN sebagai pusat pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan;
3. Peningkatan Kualitas manajemen Sumber Daya Manusia UIN menyongsong Research University;
4. Peningkatan kualitas pelayanan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi;
5. Peningkatan kinerja tenaga fungsional dan tenaga administrasi dalam implementasi tugas pokok dan fungsinya;
6. Peningkatan fleksibilitas dalam pengelolaan adminitrasi keuangan

4. UIN SUSKA Riau sebelum dan setelah menerapkan PK-BLU
Sebelum UIN Suska Riau menerapkan PK-BLU pada tahun 2009, pada tahun-tahun sebelumnya UIN Suska Riau banyak mengalami masalah-masalah terkait pelaksanaan anggaran, seperti : menggunakan aset negara untuk menambah pendapatan fakultas atau unit kerja lainnya, tidak terorganisasinya pendapatan-pendapatan pada fakultas dan unit lainnya secara baik yang mengakibatkan tidak tercapainya target PNBP yang telah direncanakan sebelumnya, pendapatan-pendapatan di fakultas dan unit lainnya tidak berdasarkan tarif yang seharusnya, pendapatan-pendapatan di fakultas dan unit lainnya tersebut tidak di catat dengan baik dan tidak dilaporkan ke UIN Suska Riau sehingga rentan terjadinya kecurangan yang dilakukan individu tertentu. Masalah lainnya yaitu tidak profesionalnya pelayanan dosen maupun pegawai yang diberikan kepada mahasiswa maupun pihak lainnya.
Setelah UIN Suska Riau resmi menerapkan PK-BLU pada tahun 2009 diharapkan seluruh kelemahan-kelemahan yang terjadi sebelumnya dapat diminimalisir. Hal ini didukung dengan sudah dimulainya penertiban pendapatan-pendapatan yang ada pada masing-masing fakultas dan unit kerja lainnya. Langkah penertiban tersebut dilakukan dengan cara mewajibkan kepada seluruh fakultas dan unit kerja untuk mengacu pada standar tarif yang berlaku pada saat mencari pendapatan, membuat laporan tertulis secara rinci seluruh pendapatan dan pengeluaran, mewajibkan kepada fakultas dan unit kerja untuk menyetorkan pendapatan ke UIN Suska Riau sebelum digunakan, membentuk satuan pengendalian yang bertugas mengawasi pendapatan, pengeluaran, dan pelaporan fakultas/unit kerja, membentuk pusat pengadaan barang dan jasa untuk meminimalir kecurangan pada saat pengadaan barang dan jasa, membentuk pusat pengembangan usaha yang bertugas untuk mengkoordinir sumber-sumber pendapatan pada UIN Suska Riau baik pendapatan akademik maupun non akademik yang nantinya dapat menambah kesejahteraan pegawai/dosen UIN Suska Riau dan dengan bertambahnya kesejahteraan pegawai/dosen maka diwajibkan kepada mereka untuk meningkatkan pelayanannya kepada mahasiswa maupun pihak lainnya.
Walau sedemikian tingginya cita-cita UIN Suska Riau dalam menerapkan PK-BLU, bukan berarti secara serta merta UIN Suska Riau dapat mencapai targetnya. Sejak tahun 2009 hingga sekarang tahun 2011 masih banyak kendala-kendala dalam penerapan PK-BLU UIN Suska Riau. Dimulai dari terbatasnya sumber daya manusia, terbatasnya pemahaman mengenai PK-BLU, belum maksimalnya rencana-rencana strategis, maupun keterbatasan-keterbatasan dari Kementerian Agama maupun Kementerian Keuangan pusat selaku pembuat peraturan. Biarpun masih banyaknya kendala-kendala dalam melaksanakan PK-BLU, selaku umat muslim sudah seharusnya kita ber-husnudzon agar UIN Suska Riau dapat memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada untuk dapat mencapai visi dan misi UIN. Sehingga pada akhirnya UIN Suska Riau dapat meningkatkan kualitas pelayanan, kesejahteraan, transparansi, akuntabilitas laporan, dan opini laporan keuangan dari Wajar Dengan Pengecualian menjadi Wajar Tanpa Pengecualian, amin.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS AUDIT PADA SEKTOR PUBLIK DAN BEBERAPA KARAKTERISTIK UNTUK MENINGKATKANNYA


Oleh : Nasrullah Djamil

ABSTRACT

              Audit quality is defined as the probability that the auditor will both discover and report a breach in the clients’ accounting system (De Angelo,1981). Determinants of Audit Quality in the Public Sector are number of years the auditor has audited the client (Tenure), number of client audited by the auditor, the size and financial helath of the client, auditor work will be subject to review by third parties, eficient independent auditor, level of audit fees and level of plan audit quality. And characteristic to improve audit quality are improve auditor experience, education, professionalism, understanding internal control client, a good planning of audit work, and VFM audit work.

A. PENDAHULUAN
               Akuntansi dan pelaporan keuangan suatu unit pemerintahan, menyajikan informasi keuangan yang berguna untuk membuat keputusan ekonomi, politik dan sosial. Untuk memperlihatkan akuntabilitas dan pertanggungjawaban aparatur pemerintah atas tugas yang diberikan kepadanya. Informasi keuangan tersebut juga berguna untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasi. Pemakai informasi keuangan unit pemerintahan menurut Jones & Pendlebury (1996) dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu :
  1. Governing bodies,
  2. Investors and creditors,
  3. Resource providers,
  4. Oversight bodies,
  5. Constituents.
Dan informasi yang dibutuhkan adalah:
  1. Financial viability,
  2. Fiscal Compliance,
  3. Management performance,
  4. Cost of Services provided.
            Menurut FASAB (Federal Accounting Standards Advisory Board, 1994) menyebutkan bahwa ada empat kelompok pemakai informasi keuangan yaitu :
citizens (including news media, pressure groups, state and local legislatures and executives, analysts), the legislative branch (including their staff), and two groups in the executive branch, namely the senior members and the program managers. If the terms of federal financial reporting, they are assumed to have four ‘needs’: (1) Budgetary integrity, (2) operating performance, (3) stewardship, (4) Deterring fraud, waste and abuse.
            Untuk memenuhi kebutuhan para pemakai tersebut, informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan harus diperiksa oleh auditor yang independen. Dan pada era transparan dan terbuka saat ini, menuntut auditor untuk lebih bertanggung jawab terhadap hasil pemeriksaan yang dilakukan, dengan mendasarkan pada kode etik dan standard profesi. Kontribusi audit adalah untuk menyajikan akuntabilitas, selama dia memberikan pendapat yang independen, apakah laporan keuangan suatu entitas atau organisasi menyajikan hasil operasi yang wajar dan apakah informasi keuangan tersebut disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan kriteria atau aturan-aturan yang telah ditetapkan.
            Pada sektor publik, pemeriksaan biasanya dilakukan oleh BPKP atau oleh akuntan publik atas penunjukkan BPKP, yang dalam menjalankan profesinya akuntan tersebut diatur oleh standar profesional dan kode etik profesi. Dalam pasal 1 ayat (2) Kode Etik Akuntan Indonesia mengamanatkan: bahwa setiap anggota harus mempertahankan integritas dan objektivitas dalam melaksanakan tugasnya. Dengan mempertahankan integritas, ia akan bertindak jujur, tegas, dan tanpa pretensi. Dengan mempertahankan objektivitas, ia akan bertindak adil, tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu atau kepentingan pribadinya. Dengan adanya kode etik ini, masyarakat akan dapat menilai sejauh mana seorang auditor telah bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh profesinya.
             Kontribusi audit ini juga untuk melihat akuntabilitas pemerintah secara riel, menilai integritas, kinerja dan pertanggungjawaban aktivitas pemerintah. Dalam sektor publik ini pengaruh hukum pada praktik audit lebih besar, sehingga auditing pada sektor publik ini menempatkan seorang auditor minimal didasarkan pada audit keuangan dan regularitas, dan lebih jauh pada penilaian value for money. Jadi audit pada sektor publik (pemerintahan) adalah bertujuan untuk memberi jaminan tentang pengendalian intern dalam governmental entity dan ketaatannya pada hukum dan peraturan (Gauthier,1991).
              Menurut APB statements (1993) menyatakan bahwa:
As well as financial statements, audit and related service engagements may involve other financial information, or non financial information, such as :
  1. the adequacy of internal control systems,
  2. compliance with statutory, regulatory or contractual requirements,
  3. economy, efficiency and effectiveness in the use of resources (value for money auditing, and,
  4. environmental practices
              Walaupun sudah ada standar dan kode etik profesi, tapi masih sering terjadi kasus-kasus kolusi dan korupsi atau penyelewengan, sehingga masyarakat mulai menyangsikan komitmen auditor terhadap kode etik profesinya. Jika kode etik dan standar dijalankan dengan benar dan konsisten, maka kasus-kasus penyimpangan tersebut tidak seharusnya terjadi. Untuk itu auditor pemerintah yang melakukan pemeriksaan atas laporan keuangan departemen (lembaga pemerintahan) dan perusahaan - perusahaan milik negara (BUMN/BUMD), dituntut untuk bertindak secara profesional dan mentaati standar pemeriksaan dan aturan perilaku pemeriksaan yang telah ditetapkan, agar kualitas audit dapat dijaga dan ditingkatkan.
               Menurut Hunt & Vitell [1986, dalam Khomsiyah & Nur Indriantoro (1998)], bahwa kemampuan seorang profesional untuk dapat mengerti dan peka akan adanya masalah etika dalam profesinya, sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya atau masyarakat dimana profesi itu berada, lingkungan profesinya, lingkungan organisasi atau tempat ia bekerja serta pengalaman pribadinya. Sikap masyarakat yang pasif, sistem pengawasan yang masih lemah dari organisasi profesi auditor terhadap anggotanya, kerjasama yang tidak sehat antara BPKP dengan klien, turut mempengaruhi perilaku etika auditor. Bahkan menurut Sudibyo (1995), dunia pendidikan akuntansi mempunyai pengaruh yang besar terhadap perilaku etika auditor.
                Berdasarkan hasil beberapa riset atau survey sebelumnya menyatakan, bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas audit pada sektor publik yang dihasilkan, dan beberapa karakteristik yang dapat meningkatkan kualitas audit ini. [Gauthier, 1991; Aldhizer III, 1995; Raman and Wilson,1994; Deis and Giroux, 1992; dan lain-lain]. Pada artikel ini saya mencoba mengambil intisari intisari beberapa hasil penelitian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kualitas audit tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit, dan beberapa karakteristik untuk meningkatkan kualitas audit tersebut. Organisasi artikel ini saya mulai dengan pendahuluan , kemudian kualitas audit dan hubungannya dengan ukuran auditor, kualitas audit sektor swasta, kualitas audit sektor publik, perbandingan kualitas audit pada sektor publik dan sektor swasta, faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit, beberapa karakteristik untuk meningkatkan kualitas audit. Dan tulisan ini diakhiri dengan kesimpulan.

B. KUALITAS AUDIT DAN HUBUNGANNYA DENGAN UKURAN AUDITOR
              De Angelo (1981) mendefinisikan audit quality (kualitas audit) sebagai probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Probabilitas penemuan suatu pelanggaran tergantung pada kemampuan teknikal auditor dan independensi auditor tersebut. Beberapa penelitian seperti De Angelo (1981); Goldman & Barlev (1974); Nichols & Price (1976) umumnya mengasumsikan bahwa auditor dengan kemampuannya akan dapat menemukan suatu pelanggaran dan kuncinya adalah auditor tersebut harus independen. Tetapi tanpa informasi tentang kemampuan teknik (seperti pengalaman audit, pendidikan, profesionalisme, dan struktur audit perusahaan), kapabilitas dan independensi akan sulit dipisahkan.
            Ukuran perusahaan audit menurut Deis & Giroux (1992) diukur dari jumlah klien dan prosentase dari audit fees dalam usaha mempertahankan kliennya untuk tidak berpindah pada perusahaan audit yang lain.
Beberapa penelitian di Amerika dan Australia menyebutkan bahwa adanya hubungan antara kualitas audit dengan ukuran perusahaan audit. Hubungan tersebut terjadi dalam kaitannya dengan reputasi perusahaan audit tersebut. Beberapa penelitian tersebut menyebutkan bahwa:
  1. DeAngelo (1981) berargumentasi bahwa kualitas audit secara langsung berhubungan dengan ukuran dari perusahaan audit, dengan proksi untuk ukuran perusahaan audit adalah jumlah klien. Perusahaan audit yang besar adalah dengan jumlah klien yang lebih banyak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perusahaan audit yang besar akan berusaha untuk menyajikan kualitas audit yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan audit yang kecil. Karena perusahaan audit yang besar jika tidak memberikan kualitas audit yang tinggi akan kehilangan reputasinya, dan jika ini terjadi maka dia akan mengalami kerugian yang lebih besar dengan kehilangan klien. 
  2. Libby (1979) melaporkan bukti bahwa bank loan officers menganggap bahwa adanya perbedaan dalam reputasi dari accounting firms, dia membedakan antara the big eight group dan non the big eight. 
  3. Shockley (1981) mengindikasikan bahwa persepsi dari independen auditor secara signifikan berbeda antara perusahaan audit yang besar dan kecil.
  4. Lennox (1999), menyatakan bahwa perusahaan audit yang besar lebih mampu menangkap signal akan penyelewengan keuangan yang terjadi dan mengungkapkannya dalam pendapat audit mereka.
  5. Dye (1993) Auditor yang mempunyai kekayaan atau asset yang lebih besar mempunyai dorongan untuk menghasilkan laporan audit yang lebih akurat dibandingkan dengan auditor dengan kekayaan yang lebih sedikit. Auditor yang memiliki kekayaan lebih besar (deeper pockets) adalah audit size firms yang besar.
         Di Indonesia, hubungan antara kualitas audit dengan ukuran perusahaan audit (KAP) belum dapat dilihat dengan jelas, selain belum ada penelitian yang dilakukan juga pasar untuk perusahaan audit belum mencerminkan pasar yang kompetitif. Pada sektor publik, audit biasanya dilakukan oleh BPKP, audit akan dilakukan oleh perusahaan audit (KAP), jika pemeriksaan tersebut diminta oleh BPKP. Sehingga pada sektor publik ini di Indonesia masih belum mencerminkan adanya hubungan antara kualitas audit tersebut dengan Kantor Akuntan Publik (KAP).

C. KUALITAS AUDIT SEKTOR SWASTA (PRIVATE SECTOR)
Seperti yang telah diungkapkan bahwa kualitas audit adalah probabilitas seorang auditor, dapat menemukan dan melaporkan suatu penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien. Probabilitas penemuan penyelewengan tergantung pada kemampuan teknikal auditor, seperti pengalaman auditor, pendidikan, profesionalisme dan struktur audit perusahaan. Sedangkan probabilitas auditor tersebut melaporkan penyelewengan tersebut tergantung pada independensi auditor.
Berdasarkan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) audit yang dilaksanakan auditor tersebut dapat berkualitas jika memenuhi ketentuan atau standar auditing. Standar auditing mencakup mutu profesional (profesional qualities) auditor independen, pertimbangan (judgment) yang digunakan dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporan auditor.
  1. Standar Umum: auditor harus memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang memadai, independepensi dalam sikap mental dan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama
  2. Standar pelaksanaan pekerjaan lapangan: perencanaan dan supervisi audit, pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern, dan bukti audit yang cukup dan kompeten.
  3. Standar pelaporan: pernyataan apakah laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, pernyataan mengenai ketidakkonsistensian penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum, pengungkapan informatif dalam laporan keuangan, dan pernyataan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan.
D. KUALITAS AUDIT SEKTOR PUBLIK
           Secara teknik audit sektor publik adalah sama saja dengan audit pada sektor swasta. Mungkin yang membedakan adalah pada pengaruh politik negara yang bersangkutan dan kebijaksanaan pemerintahan. Tuntutan dilaksanakannya audit pada sektor publik ini, adalah dalam rangka pemberian pelayanan publik secara ekonomis, efisien dan efektif. Dan sebagai konsekuensi logis dari adanya pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dalam menggunakan dana, baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah itu sendiri.
          Agar pelaksanaan pengelolaan dana masyarakat yang diamanatkan tersebut transparan dengan memperhatikan value for money, yaitu menjamin dikelolanya uang rakyat tersebut secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, akuntabel dan berorientasi pada kepentingan publik, maka diperlukan suatu pemeriksaan (audit) oleh auditor yang independen.
           Pelaksanaan audit ini juga bertujuan untuk menjamin dilakukannya pertanggung jawaban publik oleh pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Pengertian audit menurut Malan (1984) adalah suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai asersi atas tindakan dan kejadian ekonomi, kesesuaian dengan standar yang telah ditetapkan dan kemudian mengkomunikasikannya kepada pihak pemakai.
            GAO standard (Malan, 1984) menyatakan bahwa Governmental audit dibagi dalam 3 elemen dasar yaitu:
  1. Financial and compliance yang bertujuan untuk menentukan apakah operasi keuangan dijalankan dengan baik, apakah pelaporan keuangan dari suatu audit entity disajikan secara wajar dan apakah entity tersebut telah mentaati hukum dan peraturan yang ada.
  2. Economy dan efficiency, untuk menentukan apakah entity tersebut telah mengelola sumber-sumber (personnel, property, space and so forth) secara ekonomis, efisien dan efektif termasuk sistem informasi manajemen, prosedur administrasi atau struktur organisasi yang cukup.
  3. Program results, menentukan apakah hasil yang diinginkan atau keuntungan telah dicapai pada kos yang rendah.
Ketiga hal tersebut dijalankan auditor dalam melakukan pemeriksaan untuk mencapai kualitas audit yang baik. Dan berdasarkan beberapa pendapat dapat dianggap bahwa kualitas audit yang baik itu adalah pelaksanaan audit yang mendasarkan pada pelaksanaan Value For Money (VFM) audit yang dilakukan secara independen, keahlian yang memadai, judgment dan pengalaman.
VFM audit menurut Mardiasmo (2000) merupakan ekspresi pelaksanaan lembaga sektor publik yang mendasarkan pada tiga elemen dasar yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas.
  •  Ekonomi: pemerolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang termurah. Ekonomi merupakan perbandingan input dengan input value
  •  Efisiensi: tercapainya output yang maksimum dengan input tertentu. Efisiensi merupakan perbandingan output/input yang dikaitkan dengan standar kinerja yang telah ditetapkan
  •  Efektivitas: menggambarkan tingkat pencapaian hasil program dengan target yang ditetapkan. Secara sederhana efektivitas merupakan perbandingan outcome dengan output (target/result).
E. PERBANDINGAN KUALITAS AUDIT PUBLIC SECTOR DAN PRIVATE SECTOR.
           Berdasarkan hasil penelitian Brown & Raghunandan (1995) menyebutkan bahwa kualitas audit pada sektor publik, didasarkan pada Quality Control Reviews yang dilakukan oleh Regional Inspector Generals (RIGs) adalah lebih rendah dibandingkan dengan kualitas audit pada sektor swasta (private sector), didasarkan pada Peer Review untuk anggota dari SEC Practice Section of the AICPA (SECPS). Rendahnya kualitas audit pada auditor pemerintah, menurut Brown & Reghunandan, karena mereka dihadapkan pada litigation risk yang rendah Tetapi hasil temuan tersebut masih perlu dilakukan pengujian kembali, karena kemungkinan perbandingan tersebut tidak akan menghasilkan kesimpulan yang sama jika dilakukan pada lingkungan yang berbeda (misalnya lingkungan negara atau daerah yang berbeda). Perbedaan tersebut kemungkinan dikarenakan :
1. Tipe perusahaan audit dan yang diaudit (Auditor firm & Auditee) yang berbeda
2. Sifat industri dan proses audit yang berbeda
3. Tipe dari kualitas yang melakukan review
4. Dan metode pemilihan audit untuk melakukan review
  Pada Tabel 1 menggambarkan perbandingan Government quality control program peer review untuk anggota SECPS menurut Randal J.Elder (1997). Perbandingan tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan mengapa kualitas audit yang dilaporkan Governmental Sector lebih rendah.
Tabel.1 Perbandingan Governmental Quality Control Review dan SECPS Peer Review.
Element of Process
Federal Programs Quality Control Review
SECPS Peer Review
Audit Firms
Auditees
Nature of industry
Nature of audit
Quality reviewer
Selection process
Primarily non Big 6 firms
Governmental entities
Specialized accounting
Compliance
Government regulator
Risk based selection
Primarily Big 6 firms
Public companies
Mix of specialized and non-specialized industries
Financial
CPA Firm
Required for all firms
Sumber : Randal J.Elder. Accounting Horizon Vol.11 No.1 March 1997
Agar kepercayaan masyarakat akan hasil laporan audit atau hasil pemeriksaan tidak berkurang bahkan mungkin hilang, maka kualitas audit tersebut perlu ditingkatkan. Alasan lain meningkatkan kualitas audit adalah (Elder,1997) :
  1. Bahwa auditor sekarang lebih perhatian terhadap isu-isu yang berhubungan dengan kualitas audit untuk non federal audits
  2. Untuk dapat menghadapi risiko yang mungkin muncul dari pelaksanaan kegiatan
  3. Perlunya petunjuk tambahan untuk pelaksanaan audit.
          Untuk dapat meyakinkan apakah hasil laporan audit tersebut dapat dipercaya, maka pelaksanaan audit tersebut perlu mempertimbangkan masalah kualitas audit dan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit. Kualitas audit menurut De Angelo (1981) mendefinisikan bahwa kualitas audit sebagai probabilitas seorang auditor dapat menemukan dan melaporkan suatu penyelewengan dalam sistem akuntansi klien. Probabilitas dari penemuan suatu penyelewengan tersebut tergantung pada kemampuan teknikal auditor dan probabilitas dari pelaporan kesalahan tergantung pada independensi auditor.
           Pada sektor publik berarti kualitas audit adalah probabilitas seorang auditor atau pemeriksa (dalam hal ini di Indonesia adalah BPKP) dapat menemukan dan melaporkan suatu penyelewengan yang terjadi pada suatu instansi atau pemerintah (baik pusat maupun daerah). Probabilitas dari temuan dan penyelewengan tergantung pada kemampuan teknikal pemeriksa (BPKP) dan probabilitas pelaporan kesalahan tergantung pada independensi pemeriksa dan kompetensi pemeriksa tersebut untuk mengungkapkan penyelewengan. Untuk dapat meningkatkan kualitas audit maka perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit tersebut.

F. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS AUDIT
Probabilitas seorang auditor atau pemeriksa menemukan penyelewengan, umumnya diasumsikan oleh peneliti adalah positip dan tetap dengan anggapan bahwa semua auditor mempunyai kemampuan teknis dan independen, dan ini merupakan kunci dari permasalahan kualitas audit.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Deis dan Giroux (1992) yang melakukan investigasi tentang determinan dari kualitas audit oleh Independen CPA firm di Texas pada Audits of Independen School District. Study ini menganalisa temuan-temuan Quality Control Review (QCR) yang diperoleh melalui pengukuran langsung secara relatif atas kualitas audit. Deis & Giroux menjelaskan adanya dua variabel yang mempengaruhi kualitas audit, dari dua variabel tersebut dia melahirkan 4 hipotesis, yang menyatakan korelasinya dengan kualitas audit yaitu:
  1. Tenure adalah lamanya waktu auditor tersebut telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu unit/unit usaha/perusahaan atau instansi. Peneliti berasumsi bahwa semakin lama dia telah melakukan audit, maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin rendah. Karena auditor menjadi kurang memiliki tantangan dan prosedur audit yang dilakukan kurang inovatif atau mungkin gagal untuk mempertahankan sikap professional skepticism.
  2. Jumlah klien. Peneliti berasumsi bahwa semakin banyak jumlah klien maka kualitas audit akan semakin baik. Karena auditor dengan jumlah klien yang banyak akan berusaha menjaga reputasinya.
  3. Ukuran dan kekayaan atau kesehatan keuangan klien juga berkorelasi dengan kualitas audit. Dan korelasinya menunjukkan hubungan yang negatif, dengan asumsi bahwa semakin sehat keuangan klien, maka ada kecendrungan klien tersebut untuk menekan auditor untuk tidak mengikuti standar. Kemampuan auditor untuk bertahan dari tekanan klien adalah tergantung pada kontrak ekonomi dan kondisi lingkungan dan gambaran perilaku auditor, termasuk di dalamnya adalah : (a) pernyataan etika profesional, (b) kemungkinan untuk dapat mendeteksi kualitas yang buruk, (c) figur dan visibility untuk mempertahan profesi, (d) Auditing berada (menjadi) anggota komunitas profesional, (e) tingkat interaksi auditor dengan kelompok Professional Peer Groups, dan (f) Normal internasional profesi auditor
  4. Kualitas audit akan meningkat jika auditor tersebut mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan direview oleh pihak ketiga.
          Penelitian mengenai kualitas audit pada sektor swasta (private sector) dilakukan oleh Clive S.Lennox (1999), Nichols & Smith (1983), Eichenseher et al (1989), Francis & Wilson (1988), Johnson & Lys (1990), Defond (1992), Firth & Smith (1992) dan banyak lagi, pada intinya para peneliti tersebut menyatakan bahwa kualitas audit berhubungan dengan ukuran perusahaan audit. Perusahaan audit yang besar akan menghasilkan kualitas audit yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan audit yang lebih kecil.
Berdasarkan hasil penelitian Ramy Elitzur & Haim Falk (1996) menyatakan bahwa :
  1. Ceteris paribus, auditor independen yang efisien akan merencakan tingkat kualitas audit yang lebih tinggi dibandingkan dengan independen auditor yang kurang efisien
  2. Audit fees yang lebih tinggi akan merencanakan audit kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan audit fees yang lebih kecil.
  3. Tingkat kualitas audit yang telah direncakan akan mengurangi over time dalam pemeriksaan.
Dari beberapa hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit adalah :
1. Tenure
2. Jumlah klien
3. Kesehatan keuangan klien
4. Adanya pihak ketiga yang akan melakukan review atas laporan audit.
5. Independen auditor yang efisien
6. Level of Audit fees
7. Tingkat perencanaan kualitas audit.

G. BEBERAPA KARAKTERISTIK UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS AUDIT
Kualitas audit dinilai melalui sejumlah unit standardisasi dari bukti audit yang diperoleh oleh auditor eksternal, dan kegagalan audit dinyatakan juga sebagai kegagalan auditor independen untuk mendeteksi suatu kesalahan material. Untuk meningkatkan kualitas audit maka kita harus memperhatikan beberapa hal seperti:
1. Perubahan accounting requirements terhadap Legislation dan Statements of Standard Accounting Practice.
2. Perubahan lingkungan bisnis
3. Meningkatkannya kompleksitas dari sistem akuntansi yang menggunakan komputer.
           Oleh karena itu para praktisi audit harus mengerti dengan baik apa yang membuat suatu audit itu berkualitas. Dan berdasarkan hasil survey dari 93 audit pemerintah yang dilakukan oleh American Institute of CPAs Federal assistance audit quality mengidentifikasikan sejumlah atribut umum yang berhubungan dengan kualitas audit. Dari atribut tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan kualitas audit. Atribut atau karakteristik menurut Aldhizer et al (1995) yang berkaitan dengan kualitas audit adalah :
1. Knowlegde of the industry
  • Average hours of biennial government auditing continuing professional education earned by the audit team
  • Average percentage of time the partner spent on federal financial assistance audits in the current year
  • Average percentage of time spent on federal financial assistance audits by the audit team in the current year (partner, manager and in-charge auditor)
  • Average percentage of time spent on federal financial assistance audits by the audit team in the last three year
  • Percentage of firm business relating to federal financial assistance audits
2. Familiarity with industry authoritative literature
3. Audit hours and audit fees
a. Manager time as a percentage of total audit hours
b. Hours spent by the audit team on the audit
c. Total audit fees
4. Whether the in-charge auditor was a CPA
5. General audit knowledge and experience
a. Hours of accounting and auditing CPE by the in-charge auditor
b. Percentage of total time spent doing audits by the audit team
c. Whether the audit firm derived at least 10% of its business from audits not related to federal financial assistance
d. Average hours of accounting and auditing CPE earned by the audit team
6. Firm quality control commitment
a. Whether the audit report and work papers received a second partner review
b. Whether the firm received on unqualified or qualified peer or quality review
c. Whether the audit firm had a peer or quality review in the last three years
d. Whether responsibility for monitoring CPE for staff auditors (below the in-charge level) was independent of the audit team and centralized.
7. The time needed to complete the audit (firm beginning of fieldwork to the audit report date).
Dari Atribut atau karakteristik di atas maka langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas audit adalah:
1. Perlunya melanjutkan pendidikan profesionalnya bagi suatu tim audit, sehingga mempunyai keahlian dan pelatihan yang memadai untuk melaksanakan audit.
2. Dalam hubungannya dengan penugasan audit selalu mempertahankan independensi dalam sikap mental, arinya tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Sehingga ia tidak dibenarkan memihak pada kepentingan siapa pun.
3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporan, auditor tersebut menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama, maksudnya petugas audit agar mendalami standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan dengan semestinya. Penerapan kecermatan dan keseksamaan diwujudkan dengan melakukan review secara kritis pada setiap tingkat supervisi terhadap pelaksanaan audit dan terhadap pertimbangan yang digunakan.
4. Melakukan perencanaan pekerjaan audit dengan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten maka dilakukan supervisi dengan semestinya. Kemudian dilakukan pengendalian dan pencatatan untuk semua pekerjaan audit yang dilaksanakan di lapangan.
5. Melakukan pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern klien untuk dapat membuat perencanaan audit, menentukan sifat, saat dan lingkup pengujian yang akan dilakukan
6. Memperoleh bukti audit yang cukup dan kompeten melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan.
7. Membuat laporan audit yang menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum atau tidak. Dan pengungkapan yang informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, jika tidak maka harus dinyatakan dalam laporan audit.
8. Pada sektor publik melakukan VFM audit, yaitu melakukan audit kinerja yang mencakup:
a. Audit tentang ekonomi dan efisiensi yang bertujua untuk menentukan apakah suatu entitas telah memperoleh, melindungi dan menggunakan sumber daya secara hemat dan efisien, dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan efisiensi.
b. Audit program yang mencakup penentuan tingkat pencapaian hasil program yang diinginkan atau manfaat yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau badan lain yang berwenang, menentukan efektivitas kegiatan entitas, pelaksanaan program, kegiatan atau fungsi instansi yang bersangkutan, dan menentukan apakah entitas yang diaudit telah mentaati peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan program/kegiatan.

H. KESIMPULAN
Kualitas audit adalah probabilitas seorang auditor atau akuntan pemeriksa menemukan penyelewengan dalam sistem akuntansi suatu unit atau lembaga, kemudian melaporkannya dalam laporan audit. Probabilitas menemukan adanya penyelewengan tergantung pada kemampuan teknikal dari auditor tersebut yang dapat dilihat pada pengalaman auditor, pendidikan, profesionalisme dan struktur audit perusahaan. Sedangkan probabilitas melaporkan penyelewengan tersebut dalam laporan audit tergantung pada independensi auditor dalam menjaga sikap mentalnya.
Kualitas audit pada sektor publik lebih rendah dibandingkan dengan kualitas audit pada sektor swasta. Rendahnya kualits audit pada auditor pemerintah, menurut Brown & Raghunandan, karena mereka dihadapkan pada litigation risk yang rendah. Dan perbedaan tersebut kemungkinan dikarenakan:(1) tipe auditor firm dan auditee yang berbeda, (2) sifat industri dan proses audit yang berbeda, (3) tipe kualitas yang melakukan review, dan (4) metode pemilihan audit untuk melakukan review yang berbeda.
Berdasarkan beberapa penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit adalah : (1) Tenure yaitu lamanya waktu (jumlah tahun) auditor tersebut telah melakukan pemeriksaan suatu unit atau instansi, (2) Jumlah klien, (3) Size dan kesehatan kuangan klien, (4) Adanya pihak ketiga yang akan melakukan review atas laporan audit, (5) Independen auditor yang efisien, (6) level of audit fees, (7) tingkat perencanaan kualitas audit.
Sedangkan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas audit adalah (1) Meningkatkan pendidikan profesionalnya, (2) mempertahankan independensi dalam sikap mental, (3) Dalam melaksanakan pekerjaan audit, menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama, (4) Melakukan perencanaan pekerjaan audit dengan baik, (5) memahami struktur pengendalian intern klien dengan baik, (6) memperoleh bukti audit yang cukup dan kompeten, (7) Membuat laporan audit yang sesuai dengan kondisi klien atau sesuai dengan hasil temuan, (8) melakukan VFM audit.

REFERENSI
Aldhizer II, George R; John R.Miller & JosephF.Moraglio,1995. Common Attributes of Quality Audits. Journal of Accountancy, January.
Brown. Clifford D. & K. Raghunandan, 1997. Audit Quality in Audits of Federal Programs by Non-Federal Auditors: A Reply. Accounting Horizon Vol.11 No.1. American Accounting Association.
DeAngelo,L.E, 1981, Auditor Size and audit quality. Journal of Accounting & Economics
Deis, Donald R. Jr & Gary A.Giroux, 1992. Determinants of Audit Quality in the Public Sector, The Accounting Review, Vol 67, No.3.
Dye,R, 1993. Auditing Standards, Legal Liability and Auditor Wealth, Journal of Political Economy, Vol.101.
Elder. Randal J.1997. A Comment on Audit Quality in Audits of Federal programs by Non-Federal Auditors. Accounting Horizon Vo.11 No.1. American Accounting Association
Elitzur Ramy & Haim Failk, 1996. Planned Audit Quality. Journal of Accounting & Public Policy, 15.247-269. North Holland.
Goldman,A & B.Barlev,1974, The Auditor Firm Conflict of Interest: Its Implications for Independence. The Accounting Review. Vol.49
Ikatan Akuntan Indonesia (1994) Standar Akuntansi Keuangan: per 1 Oktober 1994, Jakarta, Salemba Empat
Jones. Rowan & Maurice Pendlebury, 1996. Public Sector Accounting, 4th edition. Pitman Publishing. London
Khomsiyah & Nur Indriantoro, 1998, Pengaruh Orientasi Etika Terhadap Komitmen dan Sentivitas Etika Auditor Pemerintah di DKI Jakarta. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. VolI No.1
Lennox S. Clive, 1999, Audit Quality & Auditor Size: An Evaluation of Reputation and Deep Pockets Hypotheses. Journal of Business Finance & Accounting, 26(7) & (8). Sept/Oct.
Malan.Roland M; James R.Fountain.Jr; Donald S.Arrowsmith & Robert L.Lockridge II.1984. Performance Auditing in Local Government. Chicago,Illinois; Government Finance Officers Association.
Mardiasmo, 2000. Value For Money Audit Dalam Pemeriksaan Keuangan Daerah Sebagai Upaya Memperkuat Akuntabilitas Publik. Bahan Seminar Strategi Pemeriksaan Keuangan Daerah yang Ekonomis, Efisien & Efektif dalam Rangak pelaksanaan Otonomi Daerah, Yogyakarta.
Mautz,R.K & H.A.Sharaf,1961: The Philosophy of Auditing, American Accounting Association, Sarasota.
Nichols,D.R & K.H.Price, 1976: The Auditor Firm Conflict: An Analysis using concepts of exchange theory. The Accounting Review. Vol.51
Raman.K.K & Earl R.Wilson,1994. Governmental Audit Procurement Practices and Seasoned Bond Prices. The Accounting Review. Vol. 69 No.4.
Shockley,R.A,1982, Perceptions of Audit Independence: A Conceptual Model. Journal of Accounting, Auditing & Finance 5 (Winter)
Sudibyo, Bambang,: 1995, Reduksi Norma Evidencial Matter Menjadi Norma Evidence serta Dampaknya pada Kualitas Audit dan Pembukuan di Indonesia. Jurnal Keuangan dan Moneter, Vol.2 No.2
Whitaker Anne & Peter Western, 1985. Quality Control of The Audit. Current Issued Auditing. Edited by David Kent, Michael Sherer & Stuart Turkey. Harper & Row Publishers. London