Sabtu, 12 Maret 2011

AKUNTANSI YANG ISLAMI (SYARI’AH) SEBAGAI MODEL ALTERNATIF DALAM PELAPORAN KEUANGAN


Nasrullah Djamil

A. Pendahuluan
Benarkah ilmu akuntansi ada dalam Islam? Pertanyaan ini begitu menggelitik, karena agama sebagaimana dipahami banyak kalangan, hanyalah kumpulan norma yang lebih menekankan pada persoalan moralitas. Dan karenanya prinsip-prinsip kehidupan praktis yang mengatur tata kehidupan modern dalam bertransaksi yang diatur dalam akuntansi, tidak masuk dalam cakupan agama.
Anggapan terhadap Akuntansi Islami (akuntansi yang berdasarkan Syariah Islam) wajar saja dipertanyakan orang. Sama halnya pada masa lalu orang meragukan dan mempetanyakan seperti apakah Ekonomi Islam.
Jika kita mengkaji lebih jauh dan mendalam terhadap sumber dari ajaran Islam Al-Qur'an dan Ahlul Bait, maka kita akan menemukan ayat-ayat maupun hadits-hadits yang membuktikan bahwa Islam juga membahas ilmu akuntansi.
Ketika kita berbicara tentang syariah, kita wajib meyakini bahwa ada dua dunia yang saling berhubungan yaitu dunia fana dan dunia akhirat. Segala perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, tidak hanya berdampak pada kehidupan dunia saja, namun memiliki hubungan yang erat dengan akhirat.
Dalam pelaksanaannya, ajaran agama sebagai “pesan-pesan langit” perlu penerjemahan dan penafsiran. Inilah masalah pokoknya : “membumikan" ajaran langit”. Di dunia, agama harus dicari relevansinya sehingga dapat mewarnai tata kehidupan budaya, politik, dan sosial-ekonomi umat. Dengan demikian, agama tidak selalu berada dalam tataran normatif saja. Karena Islam adalah agama amal. Sehingga penafsirannya pun harus beranjak dari normatif menuju teoritis-keilmuan yang faktual.
Eksistensi akuntansi dalam Islam dapat kita lihat dari berbagai bukti sejarah maupun dari Al-Qur'an. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, dimana maksud dari surat ini adalah membahas masalah muamalah. Termasuk di dalamnya kegiatan jual-beli, utang-piutang dan sewa-menyewa. Dari situ dapat kita simpulkan bahwa dalam Islam telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanan utamanya adalah untuk tujuan kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan antara kedua pihak yang memiliki hubungan muamalah, dalam bahasa akuntansi lebih dikenal dengan accountability.

B. Akuntansi Syariah VS Kapitalisme
Akuntansi konvensional yang sekarang berkembang adalah sebuah disiplin dan praktik yang dibentuk dan membentuk lingkungannya. Oleh karena itu, jika akuntansi dilahirkan dalam lingkungan kapitalis, maka informasi yang disampaikannya akan mengandung nilai-nilai kapitalis. Kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil pengguna informasi tersebut juga mengandung nilai-nilai kapitalis. Singkatnya, informasi akuntansi yang kapitalistik akan membentuk jaringan kuasa yang kapitalistik juga. Jaringan inilah yang akhirnya mengikat manusia dalam samsara kapitalisme.
Bila diperhatikan, budaya dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.
Menurut pengamatan penulis, sistem akuntansi yang ada di Indonesia sekarang ini terlalu mengadopsi pola pikir barat dengan segala kebudayaannya. Sebagaimana kita maklumi bahwa cukup lama pola pikir dan aktivitas bermuamalah masyarakat muslim di Indonesia khususnya dan selain muslim umumnya mengikuti pola pikir barat tersebut yang mana menekankan pada kapitalisme dan sekularisme.
Dimana paham kapitalisme tersebut lebih menekankan pada prinsip perolehan laba dan keuntungan yang lebih memihak kepada pemilik modal saja tanpa memperhatikan aspek-aspek lain yang sebenarnya lebih memegang peranan penting daripada pemilik modal itu sendiri. Mengapa penulis berpikiran seperti itu, sebagai gambarannya penulis dapat memberikan contohnya sebagai berikut.
Pertama, laba dari hasil penjualan dan produksi yang diperoleh sebuah perusahaan, akan dibagi dalam bentuk deviden. Akan tetapi di dalam pembagian deviden tersebut sepenuhnya hanya untuk pemilik modal saja tanpa memperhatikan kepentingan-kepentingan lainnya seperti pemerintah dan masyarakat.
Idealnya, dana deviden tersebut harus diperhitungkan untuk kepentingan masyarakat, hal ini disebabkan karena sebagian dana operasional yang dimiliki perusahaan diperoleh dengan cara melakukan pinjaman dari Bank. Seperti yang kita ketahui sumber dana yang dimiliki Bank diperoleh dari masyarakat yang menabung pada Bank tersebut. Artinya, secara tidak langsung dana operasional yang dimiliki oleh perusahaan untuk menjalankan operasinya berasal dari masyarakat. Oleh karena itu sudah seharusnya masyarakat mengetahui informasi tentang perusahaan dan memperoleh manfaat dari perusahaan tersebut.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Anbiya ayat 107, yang mana maksud dari ayat tersebut menyatakan bahwa, agar “rahmat” yang dimaksudkan oleh Allah SWT dapat dirasakan dan dinikmati oleh manusia, maka manusia harus menjauhi perbuatan yang saling menzalimi antara manusia satu dengan manusia lainnya, antara manusia dengan lingkungan, antara manusia dengan alam, dan yang lebih penting adalah jangan menzalimi diri sendiri. Hal tersebut lebih dipertegas lagi dalam surat Al-Baqarah ayat 279, yang mana maksud dari surat tersebut yakni menyatakan tentang prinsip utama dalam syariat islam terutama dalam melakukan muamalah.
Contoh kedua, apabila dilihat dari kegiatan yang berhubungan dengan perbankan, maka alat ukur yang sering digunakan adalah rate of interest. Hal ini tentu saja menguntungkan bagi perbankan karena perbankan menggunakan instrumen ini untuk mencari-cari alasan untuk menghindar dari mentaati ketentuan-ketentuan syariah.
Atas dasar pemikiran tersebut diatas, maka penulis merasakan perlunya penerapan akuntansi yang islami sesuai syariah di Indonesia sebagai model alternatif dalam penyusunan laporan keuangan. Hal ini untuk menghindari terjadinya praktek kecurangan–kecurangan (fraud) seperti earning management, income smoothing, window dressing, lapping dan teknik-teknik lainnya yang biasa digunakan oleh manajemen perusahaan dalam penyusunan laporan keuangan.
Untuk lebih jelas penulis akan memberikan fakta yang terjadi pada perusahaan WorldCom. Perusahaan telekomunikasi dengan klaim aset 107 miliar dolar (sepadan dengan Rp 963 triliun) itu bangkrut. Inilah fakta kebangkrutan terbesar sepanjang sejarah Amerika.
Tumbangnya perusahaan ini, seperti sengatan mematikan bagi perekonomian Amerika, setelah sebelumnya Enron, Merck, dan Xerox ikut sempoyongan diguncang skandal manipulasi keuangan. WorldCom Cs tentu bukan jenis entitas bisnis yang baru muncul ke permukaan. Kapitalisasi mereka di New York Stock Exchange yang begitu besar dan iming-iming laba yang terus mereka cetak dalam kondisi perekonomian yang sedang lesu, jelas magnet penyedot perhatian pebisnis top di seantero dunia untuk berebut membeli sahamnya.
Tapi siapa yang menyangka, akal-akalan mereka dengan memalsukan laporan akuntansi telah membuat perusahaan itu sangat rapuh. Keuntungan miliaran dolar yang tertera dalam laporan keuangannya, tak lebih dari sebuah kepalsuan yang dirangkai oleh akuntan-akuntan yang tak bertanggung jawab.
WorldCom hanya sekadar contoh dari sebuah peradaban yang menempatkan ilmu akuntansi menghamba kepada kepentingan pemilik modal (stockholder). Di sini, kisi dan ruang akuntansi sebagai media transparansi dan pertanggungjawaban dipelintir untuk satu alasan yaitu bagaimana caranya menguntungkan bagi pemilik modal.
Sekali-sekali, cara-cara itu memang mendapatkan untung. Namun sungguh picik, mengira publik sebagai tempat sampah yang hanya bisa menerima tanpa mampu mengukur kebenaran yang disampaikan melalui laporan keuangan itu. Dan sekali terbongkar, reputasi yang bertahun-tahun mereka bangun hancur berantakan.
Realitas menyulap laporan keuangan yang banyak terjadi dalam paradigma kapitalis menunjukkan betapa sistem akuntansi kapitalis selalu berpeluang melahirkan malapetaka. Sistem akuntansi kapitalis yang memang dari asalnya didesain untuk mendukung pemilik modal.
Di sinilah bedanya sistem akuntansi kapitalis dan Islam dibangun. Akuntansi Islami bukan saja untuk melayani kepentingan stockholder, tapi juga semua pihak yang terlibat atau stakeholder. Itu berarti ada upaya melindungi kepentingan masyarakat yang terkait langsung maupun tidak langsung. Bahkan, dunia flora-fauna, berikut lingkungan yang menjadi habitatnya.
Karena itu, Akuntansi Islam bukan selalu bicara angka. Sebaliknya, domain akuntansi juga mengukur perilaku (behavior). Konsekuensinya, akuntasi Islam menjadi mizan dalam penegakan ketertiban perdagangan, pembagian yang adil, pelarangan penipuan mutu, timbangan, bahkan termasuk mengawasi agar tidak terjadi benturan kepentingan antara perusahaan yang bisa merugikan kalangan lain. Kalau rambu-rambu dasar seperti ini yang diterapkan, yakin tragedi WorldCom tak terjadi. Itu bisa dilakukan karena akuntansi tak lagi menghamba kepada kepentingan pemilik modal, tapi lebih dari itu inheren dengan penegakan keadilan dan kebenaran.
Dasar-dasar bisnis dengan merujuk praktik akuntansi Islam sebenarnya sudah diterapkan Rasulullah saat membangun Madinah. Tinggal kini bagaimana mentransfer warisan Nabi Muhammad yang berupa nilai-nilai normatif itu ke dalam tataran empirisme.
Dalam penyusunan akuntansi Islam kemungkinan ada persamaan dengan akuntansi konvensional khususnya dalam teknik dan operasionalnya. Seperti dalam bentuk pemakaian buku besar, sistem pencatatan, proses penyusunan bisa sama. Namun perbedaan akan kembali mengemuka ketika membahas subtansi dari isi laporannya, karena berbedanya filosofi.
Bila diperhatikan, budaya dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.

C. Akuntansi yang Islami (Akuntansi Syariah)
Masyarakat Islam memakai hukum Islam (syariah) yang memakai ketentuan dari kitab suci Al Qur’an dan Hadis. Peraturan akuntansi pun demikian, harus berdasarkan syariah yang berlaku.
Tujuan diberlakukannya ekonomi dan akuntansi Islam adalah menciptakan keadilan, kesejahteraan (sosial maupun ekonomi) dan melindungi hak milik masyarakat. Penerapan hukum islam dalam kehidupan masyarakat muslim menyebabkan berkembangnya perbankan, asuransi dan instansi keuangan lainnya dengan sistem pembiayaan “bebas bunga” berbeda dengan sistem pembiayaan ekonomi modern. Hal ini didasari oleh dilarangnya bunga / interest dalam syariah sehingga pembiayaan lembaga-lembaga ini didasarkan pada penggunaan equity-funding / leasing dan installment sales. Basis pembiayaan dalam Islam adalah equity participation yaitu pendapatan yang dibagi berdasarkan perjanjian pembagian profit/loss sebelumnya.
Tujuan ekonomi Islam adalah untuk menghindari ketidakpercayaan dan pertentangan antara pihak yang berkepentingan dengan menjamin fairness dari akuntansi, serta pendistribusian hak dan kekayaan secara merata. Untuk mendukung tujuan ini, dibentuklah akuntansi syariah yang tujuannya adalah sebagai berikut :
1. Circulation of Wealth:
Kekayaan harus disirkulasi secara luas dan tidak terkonsentrasi pada sekelompok orang. Tujuan ini dicapai melalui zakat, sedekah dan pelarangan tingkat bunga.
2. Prohibition of Interest:
Bunga merupakan alat yang paling pasti untuk mengakumulasikan kekayaan dengan menghindari resiko. Hal ini dilarang dalam hukum Islam dengan pertimbangan bahwa orang-orang yang memiliki uang disediakan cara yang mudah untuk meningkatkan kekayaan mereka sementara orang-orang yang membutuhkannya tidak dapat keluar dari lingkaran kemiskinan karena keharusan membayar buga yang belum tentu mampu mereka tanggung. Islam menganggap hal ini tidak adil. Jenis investasi yang diizinkan adalah equity based partnership maupun shareholding.
3. Halal Trade :
Investasi hanya boleh dilakukan dalam aktivitas yang tidak dilarang dalam Islam (pelarangan termasuk perjudian, alkohol dan hal-hal yang berbahaya bagi masyarakat). Pemberian informasi yang tidak benar dilarang. Hal ini mengimplikasikan adanya full disclosure and fair measure or valuation.
4. Forbidden transactions and contracts:
Semua jenis kontrak harus jelas, kontrak yang tidak jelas dilarang. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik dan pertentangan antar pihak yang terkait. Tarnsaksi pinjam-meminjam dan transaksi lainnya yang merupakan kewajiban di masa yang akan dating (partnership, joint venture) harus dicatat dan diawasi. Transaksi spekulatif dilarang. Dalam Equity; fair selling price ditentukan dalam competitive market, tidak ada penipuan ataupun monopoli. Asuransi konvensional didasarkan pada takaful yaitu co-operative saving dimana bagian tertentu dialokasikan untuk klaim dari kewajiban kontijensi.

D. Kepemilikan Dalam Islam
1. Pengertian Kepemilikan dalam Islam
"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata malaka yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab milk berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Contohnya Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya.
Para fukoha memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa "milik" adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.
Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).
2. Jenis-jenis Kepemilikan
Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagad raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu "diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT.
Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara' yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.
3. Sebab-sebab Timbulnya Kepemilikan Sempurna.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat macam yaitu: (1) kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan, (2) akad, (3) penggantian dan (4) turunan dari sesuatu yang dimiliki.
3.1. Kepenguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan.
Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara' untuk dimiliki seperti air di sumbernya, rumput di padangnya, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.
3.2. Akad
Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut : a) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.
3.3. Penggantian
Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti dalam akad. Karena kepemilikan ini terjadi oleh sebab aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar'i yaitu (i) belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, " Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara Muslim lainnya, maka barang itu miliknya." (ii) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah SAW bahwa segala perkara itu tergantung pada niat yang dikandungnya.
3.4. Turunan dari sesuatu yang dimiliki
Bentuk-bentuk kepenguasaan terhadap barang yang diperbolehkan ini ada empat macam yaitu :
a. kepemilikan karena menghidupkan tanah mati.
b. kepemilikan karena berburu atau memancing.
c. rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan belantara yang tidak ada pemiliknya.
d. kepenguasaan atas barang tambang.
Khusus bentuk yang keempat ini banyak perbedaan di kalangan para fukoha terutama antara madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Bagi Hanafiyah, hak kepemilikan barang tambang ada pada pemilik tanah sedangkan bagi Malikiyah kepemilikan barang tambang ada pada negara karena semua tambang, menurut madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari kepemilikan atas tanah.

E. Penutup
Akuntansi Syariah didasarkan atas asas tolong menolong, hal ini menyebabkan terjadinya berbagai perbedaan dengan akuntansi konvensional yang didasarkan pada sistem kapitalisme. Fungsi lembaga keuangan dalam ekonomi konvensional adalah maximization of profit sementara dalam syariah fungsi lembaga keuangan adalah intermediary dalam melakukan pemerataan kekayaan.
Beberapa perbedaan yang cukup mendasar adalah konsep pinjaman yang dianggap sebagai investasi, tidak diberlakukannya bunga dan sistem pembagian profit antara lembaga keuangan dengan pihak peminjam dana. Karena akuntansi konvensional yang dikenal saat ini diilhami dan berkembang berdasarkan tata nilai yang ada dalam masyarakat barat, maka kerangka konseptual yang dipakai sebagai dasar pembuatan dan pengambangan standar akuntansi berpihak kepada kelompok kepentingan tertentu.
Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses akuntansi. Agar informasi keuangan yang disajikan bermanfaat bagi para pemakai, maka proses penyajiannya harus berdasarkan pada standar akuntansi yang berlaku. Dalam merumuskan standar akutansi, diperlukan acuan teoritikal yang dapat diterima umum, sehingga standar akuntansi yang diterapkan dapat digunakan untuk mengevaluasi praktik akuntansi yang berlangsung. Acuan teoritikal ini disebut kerangka konseptual penyusunan laporan keuangan.
Fenomena kegagalan akuntansi konvensional dalam memenuhi tuntutan masyarakat akan informasi keuangan yang benar, jujur dan adil, meningkatkan kesadaran di kalangan intelektual muslim akan perlunya pengetahuan akuntansi yang islami. Perumusan kembali kerangka konseptual pelaporan keuangan dengan mendasarkan pada prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Mengingat akuntansi syariah sesuai dengan fitrah (kecenderungan) manusia yang menghendaki terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial. Islam yang disampaikan Rasulullah saww melingkupi seluruh alam yang tentunya mencakup seluruh umat manusia. Di sinilah perbedaan antara paham akuntansi konvensional dengan akuntansi syariah. Paham akuntansi konvensional hanya mementingkan kaum pemilik modal (kapitalis), sedangkan akuntansi syariah bukan hanya mementingkan manusia saja, tetapi juga seluruh makhluk di alam semesta ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar